Minggu, 26 Juli 2020

Rumah jadi Kelas. Google dan TVRI jadi Guru

Sebuah Cerita Mini Oleh : Efsi Kurniasih

Rumah jadi Kelas. Google dan TVRI jadi Guru


Pukul 00.10, mata semakin menuntut untuk dipejamkan. Butuh istirahat. Namun pekerjaan kantor juga semakin kencang berteriak minta diselesaikan. Punggung sudah bosan membujukku untuk mulai merebahkan badan. Aku memutuskan untuk melanjutkan menatap layar komputer jinjing berukuran 13,3 inch milikku. Jika bisa berbicara, layar inipun mungkin akan mengeluh karena bosan melihat kantong mata dan wajah kusutku. Di sana terbuka berkas berisi tabel dan angka beserta kunci jawaban ABCD. Aku lanjut mengetik ini itu sembari bolak balik melihat berkas yang ada di layar telepon genggam. Penilaian tengah semester siswa-siswaku yang dikumpulkan seadanya melalui pesan whatsapp harus segera aku masukkan ke sistem dan dianalisis agar bisa kulaporkan dalam bentuk rapot kini yang lagi-lagi akan diberikan melalui pesan whatsapp.

Hari ini, 24 April 2020, 37 hari sejak perintah Work From Home yang diturunkan oleh pemerintah demi memutus rantai penyebaran covid-19, diterapkan. Sudah 37 hari pula aku berkutat dengan aplikasi komunikasi online demi memantau kegiatan belajar siswa-siswaku. Minggu lalu PTS baru saja di laksanakan. Online. Seadanya saja. Aku mengirim soal melalui pesan whatsapp, siswaku mengerjakan di rumah kemudian memfoto pekerjaannya lalu dikirimkan kepadaku untuk di koreksi dan dianalisis. Terkesan sederhana, namun pada kenyataanya lebih sulit dan rumit. Malam ini saja, aku sudah terlambat 4 hari dari tenggat yang diberikan oleh wakil kepala sekolah urusan kurikulum untuk mengumpulkan nilai dan hasil analisisnya. Bukan aku malas. Masalah ini lebih rumit daripada sekedar guru malas yang menunda pekerjaan. Hingga pukul 22.00 tadi, aku masih menunggu siswaku mengumpulkan tugas. Sebagai besar terlambat mengumpulkan karena keterbatasan fasilitas. Dua minggu belakangan aku sibuk meladeni orang tua yang komplain tentang sulitnya membagi waktu antara mengerjakan pekerjaan harian mereka dengan mengawasi dan membimbing siswa mereka mengerjakan tugas. Itu baru satu masalah. Beberapa hari lalu satu di antara siswaku melaporkan bahwa beberapa temannya tidak memiliki telepon genggam. Jangankan memiliki telepon genggam, untuk sekedar makan saja orang tuanya kesulitan. Orang tuanya yang merupakan buruh harian, yang bekerja hari ini untuk makan besok, sudah seminggu tidak bekerja. Tentu tidak ada pula pemasukan. Bagaimana mungkin mereka bisa membeli telepon genggam agar anaknya bisa belajar secara online? Tadi pagi aku harus mengubungi siswaku satu persatu. Memastikan ada di antara mereka yang bertetangga sehingga bisa mengerjakan bersama. “numpang-numpanglah” begitu istilah yang aku katakan kepada mereka. Setelah itu aku terpaksa harus mengunjungi beberapa siswa yang tidak memiliki akses telepon genggam dan internet, lalu menunggui mereka mengerjakan tugas dan mengambil lembar tugasnya untuk kuanalisis dan kukoreksi di rumah. Melanggar aturan work from home? Iya. Berisiko? Sangat. Mengingat daerah tempat tinggal sebagian besar siswaku termasuk dalam zona merah penyebaran covid-19 di kotaku. Akan tetapi, tuntutan sistem pendidikan harus tetap di kejar. Mereka memohon agar dicarikan solusi. Orang tua takut rapor anak mereka kosong karena tidak bisa mengerjakan penilaian tengah semester. Semua menjadi kapiran. Sampai detik ini, dari 150 siswa yang kubimbing di sekolah, hanya 60% siswa yang mengumpulkan lembar kerja penilaian tengah semester mereka. Berarti, akan ada 60 siswa yang memiliki rapor mini tanpa nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Itu baru satu mata pelajaran. Setiap siswa kelas 7, dibebani dengan 10 mata pelajaran. Bagaimana dengan mata pelajaran lain?  Apakah guru mata pelajaran tersebut mau datang ke rumah siswa yang tidak memiliki akses internet? Apakah guru mata pelajaran lain mampu mengakomodir sistem belajar online? Bagaimana dengan guru tua yang gaptek ? Bagaimana dengan guru yang tidak bisa berkendara sendiri? Bagaimana dengan siswa yang sama sekali tidak bisa di jangkau karena benar-benar tidak ada fasilitas untuk komunikasi?

Sudah pukul 02.30, sebentar lagi sahur. Aku mulai berdamai dengan situasi. Wakil kepala sekolah urusan kurikulum mengirimi pesan. Singkat saja. “kosongkan rapot mini siswa yang tidak mengumpulkan PTS. Untuk kenaikan kelas nanti, gunakan catatan sikap siswa selama masuk sekolah”. Sedikit ada solusi. Besok, kabar baik ini akan kusebar kepada orang tua. Agar beban mental mereka sedikit berkurang dan bisa lebih fokus memikirkan solusi untuk bertahan hidup di tengah pandemi yang menyulitkan di segala bidang kehidupan ini.

Kumatikan layar komputer jinjingku. Mamak sudah mengetuk pintu kamar mengajak mempersiapkan sahur. Aku tersenyum. Besok, beban siswaku dan orang tuanya sedikit berkurang.

Pukul 08.05, “triing” kulihat pesan masuk di aplikasi whatsapp ku. Kepala sekolah.

“bapak/ibu, sampaikan kepada siswa untuk menonton TVRI sesuai perintah menteri pendidikan”

Langsung ku teruskan ke Grup Chat siswa dan orang tua.

“triing” pemberitahuan pesan baru.

Siswaku yang mengirim pesan.

“ibu, bagaimana saya mau nonton TVRI? TV di rumah saya rusak”

Aku hanya bisa tertawa. Tertawa sejadi-jadinya. Ternyata solusi bisa memunculkan masalah baru.

Seketika aku teringat dengan teman-temanku yang bertugas di pedalaman sana. Bagaimana WFH mereka? Bagaimana kegiatan belajar siswa-siswa mereka? Jangankan akses internet. Listrik saja belum masuk ke daerah mereka.

Wabah ini bukan sekedar masalah kesehatan. Semua aspek diserang. Kesehatan hancur. Perekonomian merangkak. Pendidikan terganggu. Sosial masyarakat terguncang. Bahkan kegiatan ibadah tidak bisa dijalankan seperti biasanya.

Lamunanku disadarkan oleh pesan baru dari siswaku.

“ibu, saya numpang TV tetangga”

***