Sabtu, 09 September 2017

Surat Kepada Rindu


                                                                                                                   Kuburaya, 9 September 2017

Yang terhormat, Rindu.
Di tempat.

Dengan hormat,
Melalui surat ini saya ingin mengabarkan bahwa saya yang sedang duduk di bawah taburan bintang tertutup awan dengan suasana sejuk bulan September, sedang merasakan kehadiran Anda. Melalui surat ini juga saya yang saat ini sedang menatap sebuah foto dengan gambar penuh warna menyejukkan mata namun objeknya membuat jantung saya berdetak seirama drum heavy metal, menyatakan bahwa saya sedang menikmati kehadiran Anda. Tahukan Anda, bahwa saat ini Anda sedang menyiksa saya dengan amat syahdu? Saya tidak mengerti, mengapa Anda datang merayap seperti cicak menangkap nyamuk di plafon kamar saya? Anda datang tanpa suara meski hanya desahan, namun kehadiran Anda begitu nyata senyata kamar saya yang amat sangat berantakan. Mengapa demikian? Apakah sejak Anda datang saya jadi malas berkemas karena raga saya lebih memilih bergelung di balik selimut seraya menikmati belaian Anda, Rindu?

Yang terhormat, Rindu.
Melalui surat ini juga saya ingin tekankan bahwa saya, yang saat ini sedang berjibaku dengan waktu sebab menunggu, tidak keberatan dengan kehadiran Anda dan saya menganggap bahwa Anda membuat saya lebih bisa menikmati derai hujan 9 september yang ruah mengeroyok bumi khatulistiwa dengan penuh romansa.

Demikian surat ini saya sampaikan. Terima kasih atas kehadiran Anda yang membuat saya tersenyum dan nelangsa dalam satu ketukan masa. Semoga apa yang saya sampaikan dalam surat  ini dapat Anda pahami dengan saksama dan akan lebih baik jika Anda sampaikan kepada dia.

Hormat saya.
Yang duduk mengetik pukul 23.23


Selasa, 05 September 2017

Cerita pada MalamNya

Pemilik Masa, izinkan aku sedikit bercerita
Tentang makhluk antah berantah yang tiba-tiba menunjukkan eksistensinya.
Si hitam berjanggut keribang, penyuka laut, penikmat kopi, pemilik suara merdu
Cerita ini tentang gemuruh langit ketika melihat dia yang pergi lantas tinggalkan jejak bernama rindu.
Ia seperti teka-teki favoritku.
Penuh misteri.
Semakin kupikir, semakin aku merasa, aku kena candu, barangkali.
Ingin lagi. Ingin lagi.
Ia seperti laut tempat aku mengurai banyak luka.
Melihatnya aku tenang, sekaligus bergidik takut.
Palungnya, sedalam apa?

Sedikit malu aku sebenarnya, meski pada akhirnya tersusun rangkaian kata-kata. Sajak genit tentang dia.
sajak pertama, tentang
KAMU
Jika awan mulai berarak malu-malu, itu pasti karena kamu.
Jika berdebar hatiku saat melihat kamu, sudah pasti dibuat oleh Kamu.
Mulai hari ini aku mulai belajar menyeduh kopi. Itu karena kamu.
Nah,
Kutanyakan ini padaMU, tolong beri aku jawaban jelas tanpa majas.
Bolehkah aku, menyelipkan namanya dalam lima kali sehari pertemuan-pertemuan rutin kita?
Atau setidaknya pada percakapan-percakapan kita di penghujung malam?
Cemburukah Kamu?

Harusnya Kamu paham bahwa akhirnya aku memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk menyelipkan nama seorang manusia dalam percakapan kita, kan?

Boleh kah aku, meminta padaMU,
Lancarkan urusannya agar bisa segera berurusan denganku?

Bolehkah aku, merayuMU,
Agar kita bisa kumpul bertiga, dalam percakapan-percakapan malam kita?

Surat Kepada Tuan

Katakanlah, wahai tuan penyuka arabika, kepada malam penguasa bintang tentang rasa yang tak dapat dibendung bahkan oleh seorang Bandung Bondowoso hingga ia rela bersekutu dengan jin penghuni neraka. Adakah kopi dan kepul asap rokok mengerti arti rindu? Sedangkan mereka kerap betemu dalam hirup dan hela napas tersela gelak tawa. Mengertikah ia tentang rasa yang mendesak keluar dari dada sang senja ketika lazuardi mulai terbias di cakrawala? Pahamkah mereka tentang kedipan venus di timur jauh kepada fajar? Padahal pagi tau, fajar tak pernah ingkar janji untuk selalu hadir tepat pukul 4.20, mungkin kurang atau lebih sedikit.

 Tuan, aku punya cerita. Tadi, tepat pukul 4.23, subuh berbisik padaku, lambat-lambat ia menghampiriku di tempat tidur lalu dengan tangannya yang sejuk membangunkanku lantas resah berkata “aku khawatir”. Bersegera kubuka mata. Kutatap bening wajahnya sedalam yang aku bisa. “sudahkah waktunya?” mencicit aku bertanya. Cemas ia, berkali-kali mengintip ke jendela lalu gemulai mengangguk. Kutangkap pancaran tak yakin di matanya. “bukankah ia tak pernah ingkar?”  nyawaku mulai terkumpul kembali. Ia mengangguk. Bergegas kubuka jendela kamar pengapku. Tak ada nuansa biru. Mega-mega mendung bergelayut. Ku peluk subuh, erat. Ku bisikkan padanya. “tenanglah, bukan ia terlambat. Ia di situ. Di balik awan kelabu. Buka matamu. Rasakan dengan hatimu. Setelah ribuan kali pertemuan tanpa cacat, kau masih ragu?” Semburat subuh menjadi fajar. Ceria ia, merekah sinarnya. Sebab 05.30 kelabu luruh ke bumi. Pagi datang penuh air mata suka cita. Sabar tak pernah berdusta. Janji selalu dilunasi oleh pagi.


Tuan, bisakah kupegang janjimu?

Minggu, 03 September 2017

Sajak pada Hujan

Sajak pada Hujan.

Kepada hujan.
Hari ini aku menyakitimu.
Maaf.
Bukan maksudku begitu.
Meski akhirnya luka juga hatimu karena aku.
Percayalah hujan. Akupun sama.

Hujan,
Aku suka kamu.
Tapi kamu milik bumi.
Meski kamu tak selalu ingin turun di situ.
Tapi kamu tak selalu bisa memilih nasib, bukan?

Kamu bilang kamu mau aku.
Sama.
Tapi tak begini caranya.
Salah.

Hujan.
Aku tak sekuat bumi.

Aku penakut. Aku takut tenggelam dalam sejukmu.

Aku penakut. Aku takut terlena kecup alirmu.
Meski sebenarnya aku telah begitu basah.

Aku penakut. Aku takut aku benar-benar mau kamu.
Meski sebenarnya memang sudah begitu.

Tapi aku tak boleh.
Hujan. Jangan muram begitu.
Kamu.
Pasti mengerti maksudku.
Kamu milik bumi.
Aku. Tak boleh mau kamu.

Tuhan Maha Asik

Tuhan Maha Asik
Dibiarkannya aku jatuh cinta
Agar aku tahu, cinta pada hambaNya
Tak sekekal Ia.

Tuhan Maha Asik
Dibiarkannya aku berencana
Agar aku sadar
Tak ada yang sesempurna kehendakNya.

Tuhan Maha Asik.
diicipkanNya aku patah hati
agar aku ingat
sombong meski sebiji zarah
dapat batalkan jalanku ‘tuk bahagia.
                                          

*dari kalimat sahabat lama, dalam curahan-curahan hati di tengah malam

Tentang Penantian


Sekarang aku menanti
Ketika kamu sedang pergi
Meninggalkanku
Untuk belajar ikhlaskan sakit hati.

Jika nanti aku pergi
Jangan pernah kamu mencari
Dan tampakkan rupamu di depanku lagi

Jika nanti aku pergi
Jangan minta aku kembali
Karena mungkin aku telah gagal belajar ikhlaskan sakit hati ketika kamu sedang pergi.


-2016-

Kepada Hujan #1

Hei kamu, hujan
Iya kamu, yang saban hari turun deras
Bikin basah, tapi aku suka
Kamu tau
Susah sekali menghindari kamu
Kamu jatuhnya beribu-ribu
Tumpah ruah
Menghindar? Aih, aku sudah lelah
Kunikmati sajalah
Biar saja aku tak punya hak
Sekali-sekali aku mau egois
Toh, saran kamu juga
Rasa bersalah? Ya ada lah
Selalu setiap kedipan mata
Rasa bersalah semakin menumpuk
Tapi tak apalah. Aku lelah mencoba tidak basah.
Hei kamu, hujan.
Kamu tau?
Rasanya ingin kuculik kamu
Ke kota lain, ke pulau lain, ke benua lain, ke galaksi lain
Ke dunia lain
Ke mana sajalah
Yang penting tidak ada dia
Yang penting tidak ada yang kenal dia
Hmm…
Tak apalah kalau beberapa, yang sekedar tau saja
Eh…
Tak usahlah
Ku angkut saja kamu
Ke tempat yang hanya tentang kita
Di mana?
Ujung dunia?
Terserah saja
Yang penting kita sama-sama

Tanpa dia.