Katakanlah, wahai tuan penyuka
arabika, kepada malam penguasa bintang tentang rasa yang tak dapat dibendung
bahkan oleh seorang Bandung Bondowoso hingga ia rela bersekutu dengan jin
penghuni neraka. Adakah kopi dan kepul asap rokok mengerti arti rindu? Sedangkan
mereka kerap betemu dalam hirup dan hela napas tersela gelak tawa. Mengertikah
ia tentang rasa yang mendesak keluar dari dada sang senja ketika lazuardi mulai
terbias di cakrawala? Pahamkah mereka tentang kedipan venus di timur jauh
kepada fajar? Padahal pagi tau, fajar tak pernah ingkar janji untuk selalu
hadir tepat pukul 4.20, mungkin kurang atau lebih sedikit.
Tuan, aku punya cerita. Tadi, tepat pukul
4.23, subuh berbisik padaku, lambat-lambat ia menghampiriku di tempat tidur
lalu dengan tangannya yang sejuk membangunkanku lantas resah berkata “aku khawatir”.
Bersegera kubuka mata. Kutatap bening wajahnya sedalam yang aku bisa. “sudahkah
waktunya?” mencicit aku bertanya. Cemas ia, berkali-kali mengintip ke jendela
lalu gemulai mengangguk. Kutangkap pancaran tak yakin di matanya. “bukankah ia
tak pernah ingkar?” nyawaku mulai
terkumpul kembali. Ia mengangguk. Bergegas kubuka jendela kamar pengapku. Tak
ada nuansa biru. Mega-mega mendung bergelayut. Ku peluk subuh, erat. Ku
bisikkan padanya. “tenanglah, bukan ia terlambat. Ia di situ. Di balik awan
kelabu. Buka matamu. Rasakan dengan hatimu. Setelah ribuan kali pertemuan tanpa
cacat, kau masih ragu?” Semburat subuh menjadi fajar. Ceria ia, merekah
sinarnya. Sebab 05.30 kelabu luruh ke bumi. Pagi datang penuh air mata suka
cita. Sabar tak pernah berdusta. Janji selalu dilunasi oleh pagi.
Tuan, bisakah kupegang janjimu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar