Selasa, 05 September 2017

Surat Kepada Tuan

Katakanlah, wahai tuan penyuka arabika, kepada malam penguasa bintang tentang rasa yang tak dapat dibendung bahkan oleh seorang Bandung Bondowoso hingga ia rela bersekutu dengan jin penghuni neraka. Adakah kopi dan kepul asap rokok mengerti arti rindu? Sedangkan mereka kerap betemu dalam hirup dan hela napas tersela gelak tawa. Mengertikah ia tentang rasa yang mendesak keluar dari dada sang senja ketika lazuardi mulai terbias di cakrawala? Pahamkah mereka tentang kedipan venus di timur jauh kepada fajar? Padahal pagi tau, fajar tak pernah ingkar janji untuk selalu hadir tepat pukul 4.20, mungkin kurang atau lebih sedikit.

 Tuan, aku punya cerita. Tadi, tepat pukul 4.23, subuh berbisik padaku, lambat-lambat ia menghampiriku di tempat tidur lalu dengan tangannya yang sejuk membangunkanku lantas resah berkata “aku khawatir”. Bersegera kubuka mata. Kutatap bening wajahnya sedalam yang aku bisa. “sudahkah waktunya?” mencicit aku bertanya. Cemas ia, berkali-kali mengintip ke jendela lalu gemulai mengangguk. Kutangkap pancaran tak yakin di matanya. “bukankah ia tak pernah ingkar?”  nyawaku mulai terkumpul kembali. Ia mengangguk. Bergegas kubuka jendela kamar pengapku. Tak ada nuansa biru. Mega-mega mendung bergelayut. Ku peluk subuh, erat. Ku bisikkan padanya. “tenanglah, bukan ia terlambat. Ia di situ. Di balik awan kelabu. Buka matamu. Rasakan dengan hatimu. Setelah ribuan kali pertemuan tanpa cacat, kau masih ragu?” Semburat subuh menjadi fajar. Ceria ia, merekah sinarnya. Sebab 05.30 kelabu luruh ke bumi. Pagi datang penuh air mata suka cita. Sabar tak pernah berdusta. Janji selalu dilunasi oleh pagi.


Tuan, bisakah kupegang janjimu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar