Senin, 04 Desember 2017

Cerita pada Senja Tepian Sungai

seketika ia ditabok rasa iri
seketika dengki datang menyapanya dengan kasar
memaksanya tunduk dan pasrah pada realita

tak peduli seberapa kuat ia berteriak pada dunia
bahwa ia mampu,
bahwa ia siap.

tak peduli seberapa kencang ia berlari mengejar harapan yang baginya makin hari makin terasa hanya sebagai mimpi-mimpi yang tak akan pernah ia miliki.

iri tak mau peduli.

dia diserang begitu rupa.
tertohok.
dalam.
lebih dalam dari dalam hatinya.
membuatnya merasa salah dan kalah

barangkali
sesungguhnya, ia tak mampu lagi berdiri tegap.

barangkali
sesungguhnya, ia tak punya lagi kata-kata bijak untuk menguatkan hati pada hari-harinya.

barangkali
sesungguhnya, ia telah amat lelah dan sesak pada tanya-tanya yang terlontar dari mulut-mulut.
atau dari tatap-tatap.
atau dari bisik-bisik.
atau dari sindiran dalam candaan.

barangkali,
memang hanya candaan biasa.

namun,
bagi jiwanya yang sarat karat,
candaan begitu rupa serupa sinisme yang menghantam tembok logikanya

hingga,
ia akhirnya menyerah pada keinginan untuk mulai bertanya-tanya

jika ia tak lantas diberi,
mengapa yang lain berkesempatan merasakan?
apa kurangnya?
apa salahnya?
apa lebihnya mereka?
kira-kira begitulah lelah ia berteriak dalam senyap.

jangan kalian merasa lebih bijak lalu menjawab.
dia tak pernah butuh aksara penuh bujuk.
ia hanya ingin bertanya.
dengan pertanyaan yang dia sendiri tau jawabnya.


                                        12-11-17

Coretan di Halaman Belakang Buku Catatan

jangan paksa aku mengalah
jangan paksa aku menyerah
aku ingin berjuang
hingga tak ada lagi bahan penyesalan
hingga tak ada lagi waktu untuk ditunggu
hingga tak ada nafas yang menyesakkan




                       19/10

#1

Matahari pagi pertama yang kita kejar bersama
dengan suasana bagai punggung monolog
aku berkicau pada punggung tegak yang diam menyimak
segalanya terasa romantis
mulai dari debu yang melayang terlihat malu-malu
hingga deru mesin kuda besi yang terdengar mendayu-dayu
pagi itu
padang ilalang di pesisir ujung negeri menjadi saksi
dua anak manusia yang saling menaruh hati masih menyimpan rapat-rapat
rasa yang mereka tau sudah terlanjur bersarang dalam masing-masing benak
diam-diam aku berbisik pada pasir jalanan yang setia menemani
jalan ini
janganlah memiliki akhir.
hari itu,
egois pertamaku.