Sebuah
Cerita Mini Oleh : Efsi Kurniasih
Rumah jadi Kelas. Google dan TVRI jadi Guru
Pukul 00.10, mata semakin menuntut untuk
dipejamkan. Butuh istirahat. Namun pekerjaan kantor juga semakin kencang
berteriak minta diselesaikan. Punggung sudah bosan membujukku untuk mulai
merebahkan badan. Aku memutuskan untuk melanjutkan menatap layar komputer
jinjing berukuran 13,3 inch milikku. Jika bisa berbicara, layar inipun mungkin
akan mengeluh karena bosan melihat kantong mata dan wajah kusutku. Di sana
terbuka berkas berisi tabel dan angka beserta kunci jawaban ABCD. Aku lanjut mengetik
ini itu sembari bolak balik melihat berkas yang ada di layar telepon genggam. Penilaian
tengah semester siswa-siswaku yang dikumpulkan seadanya melalui pesan whatsapp harus segera aku masukkan ke
sistem dan dianalisis agar bisa kulaporkan dalam bentuk rapot kini yang
lagi-lagi akan diberikan melalui pesan whatsapp.
Hari ini, 24 April 2020, 37 hari sejak
perintah Work From Home yang
diturunkan oleh pemerintah demi memutus rantai penyebaran covid-19, diterapkan. Sudah 37 hari pula aku berkutat dengan
aplikasi komunikasi online demi
memantau kegiatan belajar siswa-siswaku. Minggu lalu PTS baru saja di
laksanakan. Online. Seadanya saja.
Aku mengirim soal melalui pesan whatsapp,
siswaku mengerjakan di rumah kemudian memfoto pekerjaannya lalu dikirimkan
kepadaku untuk di koreksi dan dianalisis. Terkesan sederhana, namun pada
kenyataanya lebih sulit dan rumit. Malam ini saja, aku sudah terlambat 4 hari
dari tenggat yang diberikan oleh wakil kepala sekolah urusan kurikulum untuk
mengumpulkan nilai dan hasil analisisnya. Bukan aku malas. Masalah ini lebih
rumit daripada sekedar guru malas yang menunda pekerjaan. Hingga pukul 22.00
tadi, aku masih menunggu siswaku mengumpulkan tugas. Sebagai besar terlambat
mengumpulkan karena keterbatasan fasilitas. Dua minggu belakangan aku sibuk
meladeni orang tua yang komplain tentang sulitnya membagi waktu antara
mengerjakan pekerjaan harian mereka dengan mengawasi dan membimbing siswa
mereka mengerjakan tugas. Itu baru satu masalah. Beberapa hari lalu satu di antara
siswaku melaporkan bahwa beberapa temannya tidak memiliki telepon genggam.
Jangankan memiliki telepon genggam, untuk sekedar makan saja orang tuanya
kesulitan. Orang tuanya yang merupakan buruh harian, yang bekerja hari ini
untuk makan besok, sudah seminggu tidak bekerja. Tentu tidak ada pula
pemasukan. Bagaimana mungkin mereka bisa membeli telepon genggam agar anaknya
bisa belajar secara online? Tadi pagi aku harus mengubungi siswaku satu
persatu. Memastikan ada di antara mereka yang bertetangga sehingga bisa
mengerjakan bersama. “numpang-numpanglah” begitu istilah yang aku katakan
kepada mereka. Setelah itu aku terpaksa harus mengunjungi beberapa siswa yang
tidak memiliki akses telepon genggam dan internet, lalu menunggui mereka
mengerjakan tugas dan mengambil lembar tugasnya untuk kuanalisis dan kukoreksi
di rumah. Melanggar aturan work from home?
Iya. Berisiko? Sangat. Mengingat daerah tempat tinggal sebagian besar siswaku
termasuk dalam zona merah penyebaran covid-19 di kotaku. Akan tetapi, tuntutan
sistem pendidikan harus tetap di kejar. Mereka memohon agar dicarikan solusi.
Orang tua takut rapor anak mereka kosong karena tidak bisa mengerjakan
penilaian tengah semester. Semua menjadi kapiran. Sampai detik ini, dari 150
siswa yang kubimbing di sekolah, hanya 60% siswa yang mengumpulkan lembar kerja
penilaian tengah semester mereka. Berarti, akan ada 60 siswa yang memiliki
rapor mini tanpa nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia. Itu baru satu mata
pelajaran. Setiap siswa kelas 7, dibebani dengan 10 mata pelajaran. Bagaimana
dengan mata pelajaran lain? Apakah guru
mata pelajaran tersebut mau datang ke rumah siswa yang tidak memiliki akses
internet? Apakah guru mata pelajaran lain mampu mengakomodir sistem belajar
online? Bagaimana dengan guru tua yang gaptek
? Bagaimana dengan guru yang tidak bisa berkendara sendiri? Bagaimana dengan
siswa yang sama sekali tidak bisa di jangkau karena benar-benar tidak ada
fasilitas untuk komunikasi?
Sudah pukul 02.30, sebentar lagi sahur. Aku
mulai berdamai dengan situasi. Wakil kepala sekolah urusan kurikulum mengirimi
pesan. Singkat saja. “kosongkan rapot mini siswa yang tidak mengumpulkan PTS.
Untuk kenaikan kelas nanti, gunakan catatan sikap siswa selama masuk sekolah”.
Sedikit ada solusi. Besok, kabar baik ini akan kusebar kepada orang tua. Agar
beban mental mereka sedikit berkurang dan bisa lebih fokus memikirkan solusi
untuk bertahan hidup di tengah pandemi yang menyulitkan di segala bidang
kehidupan ini.
Kumatikan layar komputer jinjingku. Mamak sudah
mengetuk pintu kamar mengajak mempersiapkan sahur. Aku tersenyum. Besok, beban
siswaku dan orang tuanya sedikit berkurang.
Pukul 08.05, “triing” kulihat pesan masuk di
aplikasi whatsapp ku. Kepala sekolah.
“bapak/ibu, sampaikan kepada siswa untuk
menonton TVRI sesuai perintah menteri pendidikan”
Langsung ku teruskan ke Grup Chat siswa dan orang tua.
“triing” pemberitahuan pesan baru.
Siswaku yang mengirim pesan.
“ibu, bagaimana saya mau nonton TVRI? TV di
rumah saya rusak”
Aku hanya bisa tertawa. Tertawa
sejadi-jadinya. Ternyata solusi bisa memunculkan masalah baru.
Seketika aku teringat dengan teman-temanku
yang bertugas di pedalaman sana. Bagaimana WFH mereka? Bagaimana kegiatan
belajar siswa-siswa mereka? Jangankan akses internet. Listrik saja belum masuk
ke daerah mereka.
Wabah ini bukan sekedar masalah kesehatan.
Semua aspek diserang. Kesehatan hancur. Perekonomian merangkak. Pendidikan
terganggu. Sosial masyarakat terguncang. Bahkan kegiatan ibadah tidak bisa
dijalankan seperti biasanya.
Lamunanku disadarkan oleh pesan baru dari
siswaku.
“ibu, saya numpang TV tetangga”
***