Rabu, 14 Februari 2018

Kencan Pertama

Setelah pertemuan terselubung pelatihan kepenulis sehari sebelumnya, aku mulai merasakan ketagihan.
Jumat hari itu, Cumulonimbus bergelayut di langit Pontianak sejak ayam mulai berkokok. Bisa jadi sebenarnya ayam-ayam itu malas berkokok, apa daya sudah tugas. Duty call, kata orang Eropa sana. Tak dapat aku pungkiri, lirikan-lirikan, rayuan dalam tatap minim kata-kata yang kerap dilontarkannya menjadi daya tarik tersendiri di tiap pertemuan. Entah seperti apa wajahku setiap bertatapan dengannya. Semoga tak ketahuan bahwa sesungguhnya aku megap-megap menahan raga yang kerap tak mau diajak kerja sama. Tangan berkeringat dingin, perut mulas, jantung berdebar-debar. Mengingatkanku pada suasana detik-detik menjelang ujian skripsi. Tak banyak kata-kata terucap dalam pertemuan-pertemuan terselubung  sebelum-sebelumnya. Yang sedikit-sedikit itu justru membuat penasaran. Begitu kata orang, dan aku menyetujuinya.
“Kabari Si Jek, nanti malam aku mau bayar hutang. Kalau dia tak ada urusan nanti malam, suruh dia tunggu aku” 13.59 kukirimkan pesan singkat kepadanya sebagai ajakan untuk bertemu.
“Mau kemana kita?” tanyanya.
“Menikmati malam Sabtu, tunggu aku di Masjid Al Mannar”
Segera setelah menyelesaikan tanggung jawab, aku mulai berlari mencoba mendahului hujan. Pertemuan malam ini sudah aku rencanakan sejak azan subuh berkumandang. Kutimbang-timbang sepanjang pagi hingga siang, bagaimana sebaiknya rencana ini ku jalankan? Dilaksanakankah? Maukah ia? Mengganggukah? Bodo amat.
Aku kecanduan.
Aku tidak begitu yakin tujuan cumulonimbus bergelantungan di langit kotaku seharian itu. Meski September adalah musim penghujan, harusnya sebagai yang tua dan pernah muda, ia mengerti bahwa ada anak manusia yang membutuhkan cerah senja untuk dinikmati bersama ia yang disenanginya. Alih-alih pergi, tak lama setelah kuda besiku menderu, awan perkasa yang ditakuti para pilot itu melepas hujannya. Seperti mitraliur, tumpah ruah. Mungkin maksudnya agar suasana menjadi syahdu dan sesuai dengan sedikit camilan yang kubawa. Atau sesungguhnya ia sedang berkomplot dengan semesta, agar malam Sabtu kali itu menjadi sedemikian romantis hingga cukup pantas untuk dirindukan.
Tidak masalah. Aku menyukai hujan.
***
“Kemana kita?” tanyanya. Kuyup Ia.
“Kenapa tidak menunggu reda?” aku menyesali tak membawa handuk atau sapu tangan.
“Aku tau kamu menunggu” ucapnya dengan senyumnya yang selalu kusukai.
“Ikut aku”
Lokasi ini telah lama ingin ku kunjungi. Aku sering melihatnya dari kapal wisata yang sering kunaiki untuk sekedar menikmati sore bersama sungai. Sesuatu lain yang amat kusukai. Hanya, aku tidak menemukan orang yang tepat untuk kuajak hening menikmati lampu dan aliran sungai.
“Semoga dia suka sungai” doaku.
Dermaga kecil di pinggiran Kapuas, tak jauh dari pelabuhan penyebrangan Feri. Tempat yang saat ini kunamai “Janji Senja”. Norak? Terserah. Aku memang tak pandai menamai sesuatu. Apalagi sekarang. Yang pandai kulakukan hanya rindu kamu. Hujan masih genit gerimis. Sejuk tak mau berpindah tempat. Seolah tak mau ketinggalan menjadi saksi bagaimana aku kesulitan mengatur detak jantung yang menderu. Tapi sepertinya usahaku cukup berhasil. Mendadak aku bersyukur dengan kemampuanku untuk jadi manusia tak tau malu yang selalu banyak omong ketika gugup. Pertama kalinya aku menikmati sungai Kapuas dengan berisik dan banyak omong.  Canggung tertutupi. Syukurlah. Aku tak mau pertemuan spesial pertamaku dengannya rusak.
***
Tiga hari belakangan aku mengambil tugas membuat kopi di tempatku bekerja. Memaksa rekan kerjaku meminum kopi buatanku lebih tepatnya. Aku punya misi. Ia yang kuinginkan, amat menyukai kopi. Entahlah, sepertinya kopi termasuk dalam salah satu filosofi hidupnya. Aku berhutang secangkir kopi atas kekalahan jumlah pembaca yang menyukai tulisanku dalam perlombaan menulis yang kami adakan. Itu adalah pertama kalinya aku merasa bersemangat karena kalah. Bukan berarti aku tidak berusaha untuk menang. Aku berjuang membuat tulisan yang layak. Tapi memang ternyata tulisannya lebih disukai pembaca. Tidak apa-apa. Aku jadi punya alasan untuk menjalankan rencana hari itu.
“Bagaimana kopinya?
“Aneh”
“Banyak ampas”
“Caramu menyeduh kopi mesti salah besar. Kau campur semua kan?”
“Membuat kopi yang enak itu tidak mudah, istriku perlu kutatar seminggu agar bisa membuatkanku kopi yang sesuai dengan keinginanku” komentar hari pertama.
Aku terdiam. Itu cara yang kulihat setiap mamak menyeduh kopi untuk bapak.
“Bagaimana kopinya?”
“Lebih baik dari kemarin”
“Terlalu manis”
Komentar hari kedua. Aku optimis. Bukan hal yang rumit. Aku tinggal mengurangi takaran gula dan akan sempurna.
“Bagaimana ente menyeduh kopi?” tanyaku pada sahabat lamaku. Temanku menghabiskan waktu kabur dari kelas kuliah hanya sekedar untuk menikmati minuman di kantin. Bukannya memberi trik menyeduh kopi yang baik, aku malah diceramahi.
“Gan, kopi itu bukan sekadar tentang rasa nikmatnya. Tapi lebih pada siapa yang membuatnya. Pahit atau manis kopi yang ente kasi, dia pasti menerima karena rasa bukan yang utama, tapi kopi yang langsung ente buat dengan tangan ente”
Tidakkah kalian paham? Aku hanya ingin memberikan yang terbaik dengan usahaku. Dan tentu saja aku tidak mau dicap sebagai perempuan yang bahkan menyeduh kopipun tidak becus. Bagaimana aku bisa memenangkan hatinya?
Jumat pagi,
“Bagaimana kopinya?”
“Aman”
Aku siap membayar hutang.
***
Jika rak pajangan kopi di depanku itu bisa bicara, mungkin ia akan mengumpat kepadaku sebab sejak tadi mengganggu ketenangan tidur siangnya. Mungkin ia akan berteriak mengusirku yang sudah lebih dari 15 menit membongkar, memilih, galau, bergumam, merisau tidak dapat menentukan mana kopi yang hendak dibeli. Aku tidak dapat menemukan kopi yang cukup meyakinkan untuk kuseduh sebagai pembayar hutang.  Sudah kutanyakan pada temanku yang lain di mana bisa aku temukan kopi arabica yang enak di kotaku ini. Temanku bilang tak ada. Maka terpaksa aku banting stir. Mencari sebisanya.
Begitupun rak bagian termos dan botol minum. Mungkin jika ia punya tangan, ia akan mendorongku menjauh agar tidak mengganggu kemesraannya dengan rak bagian panci dan kuali. Mungkin ia akan mencolok mataku yang sudah lebih dari 20 menit jelalatan memperhatikan tiap termos, namun tak lantas membeli. Perlu sepuluh menit lagi bagiku untuk menentukan kopi dan termos yang kurasa paling baik di antara pilihan yang lain.
Maafkan aku para rak dan pajangan-pajangan. Jangan marah. Aku sedang berjuang demi masa depan.
***
“Ini arabica?”
Ku anggap itu pertanda bahwa kopi buatanku yang pertama tidak mengecewakannya. Ku tatap ia dalam-dalam. Kujelajahi setiap gerakan dan perubahan lekuk wajahnya ketika ia menuangkan isi termos silver kecil itu hingga ia menyesap si kental hitam. Aku berdebar. Kucatat satu demi satu ekspresinya. Aku masih sulit menerjemahkan air mukanya.
“Bagaimana kopinya?”
“Kekentalan. Bagaimana kamu menakarnya”
Kurasa aku mau pulang saja. Kerja sama kita tak berhasil wahai hujan, sungai, dan rak pajangan. Mungkin aku kualat pada rak termos dan botol minum karena mengganggu kemesraan siangnya bersama rak panci dan kuali.
“Tapi bisa kunikmati. Bukan tidak enak. Rasanya unik”
Jangan ajak aku pulang.
Ku rasa, hujan malam itu pakai air hangat.
***
  -K.Sih-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar